Monday, January 16, 2012

INDUSTRI KELAPA SAWIT (Part 3)

Pengelolaan Industri Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan dengan Ampas Serabut (Fibre) sebagai Percontohan



Pendahuluan
Isu pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) semakin penting dalam perkembangan industri pertanian saat ini. Isu ini berkembang seiring dengan keinginan untuk mengarah pada teknik budidaya yang ramah lingkungan. Dalam perkembangan lebih lanjut, sektor pertanian seringkali terjebak pada dualisme keinginan yakni melakukan modernisasi untuk meningkatkan produktivitas tetapi juga harus menjaga ekosistem yang dikelolanya agar tetap lestari. Kedua hal tersebut menjadi faktor pembatas yang sifatnya bertolak belakang (trade-off) dan mengakibatkan perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang pertanian seringkali mengorbankan salah satu tujuan tersebut.
Revolusi hijau yang dianggap berhasil meningkatkan produksi dan pendapatan petani ternyata memiliki dua efek yang tidak terduga. Pertama, peningkatan harga pupuk kimia dan bahan bakar minyak serta penurunan harga-harga komoditas pertanian di pasar dunia sebagai akibat dari produksi yang berlebihan. Perubahan ini mengakibatkan harga yang lebih tinggi di tingkat konsumen dan harga yang lebih rendah di tingkat produsen. Yang mengeruk keuntungan besar adalah para suplier pupuk buatan dan bahan bakar minyak. Kedua, ketergantungan yang tinggi terhadap pestisida dan pupuk buatan. Input tersebut telah mencemari sungai dan air tanah, serta efek residu pada produk yang dihasilkan telah mencapai tingkat yang membahayakan manusia.
Pertanian modern menggunakan Sistem High-External Input Agriculture (HEIA) yakni sistem pertanian yang menggunakan input eksternal yang tinggi seperti pupuk dan pestisida. Fungsi-fungsi ekologi alamiah seperti keragaman (heterogenitas) diganti menjadi keseragaman (homogenitas) karena alasan teknologi dan peluang pasar. Berbagai penelitian dilakukan pada lahan-lahan yang berpotensi tinggi, fokus pada komoditas tunggal yang bernilai ekspor, dan ditujukan kepada petani yang lebih mampu (baca : perusahaan besar).
Kegiatan manusia mengolah produk pertanian untuk diubah menjadi bahan baku, bahan setengah jadi, maupun bahan jadi (siap pakai) selalu menghasilkan produk ikutan (by product) yang disebut dengan limbah. Limbah tersebut sebagian lagi langsung dapat dimanfaatkan dan sebagian lagi harus diolah kembali agar tidak menjadi bahan yang berbahaya dan beracun.
Perkembangan areal perkebunan kelapa sawit yang diikuti dengan pembangunan pabrik pengolahan yang cukup pesat akan mempengaruhi lingkungan sekitarnya terutama badan air penerima limbah. Pengurangan dampak negatif pabrik pengolahan minyak sawit mengacu pada Undang-Undang RI No. 23 tahun 1997, tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Peraturan Pemerintah RI No.51 tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Limbah pabrik minyak sawit terdiri dari limbah padat yakni Tandan Kosong, Ampas Serabut (fibre), Solid ex dechanter 3-phases, dan cangkang. Sedangkan limbah cair yakni Palm Oil Mill Effluent (POME). Pengelolaan limbah pabrik minyak sawit dapat dilakukan dengan cara pemanfaatan, pengurangan volume limbah, dan pengawasan mutu limbah sesuai dengan prinsip 3 R yakni recovery, recycle, dan re-use. Teknik recovery digunakan untuk memperbaiki kembali kerusakan lingkungan atau meningkatkan kembali kualitas dan daya dukung lingkungan sehingga dapat berfungsi lebih efektif. Teknik recycle merupakan upaya untuk memproses kembali (daur ulang) kembali limbah sebagai bahan baku kedua (secondary raw material) sehingga mengurangi limbah yang dibuang ke lingkungan. Sedangkan teknik re-use merupakan upaya pemanfaatan kembali bahan baku atau produk yang sudah digunakan. Ketiga teknik tersebut dapat diterapkan secara bersama-sama ataupun hanya satu teknik saja sesuai dengan karakteristik dari produk ikutan yang dihasilkan oleh hasil pengolahan bahan baku.
Salah satu limbah padat yang dihasilkan dari pabrik minyak sawit yakni ampas serabut (fibre) yang diproduksi dari stasiun Fibre Cyclone setelah melewati proses ekstraksi melalui unit screw press. Produksi ampas serabut dari pabrik minyak sawit sekitar 15 % dari total TBS yang diolah dengan berat kering sekitar 62 % (Mangoensoekarjo dan Semangun, 2003). Komposisi kimia dan bahan organik yang terkandung dalam ampas serabut disajikan pada tabel 1.

Tabel 1. Komposisi Kimia dan Bahan Organik yang terkandung dalam Ampas Serabut

Sumber : Naibaho, 1988.


Pengelolaan Ampas Serabut (Fibre) Kelapa Sawit
Ampas serabut kelapa sawit saat ini sudah dimanfaatkan di lingkungan perkebunan kelapa sawit. Hanya saja masih diperlukan inovasi dan improvement dalam pemanfaatannya, terutama untuk aplikasi di areal perkebunan kelapa sawit agar lebih efektif dan efisien.
Pabrik pengolahan kelapa sawit memanfaatkan ampas serabut sebagai bahan bakar pada stasiun boiler yang menghasilkan uap untuk pembangkit tenaga listrik yang menggerakkan mesin-mesin pabrik dan untuk proses pengolahan minyak dan kernel. Dengan asumsi rata-rata pabrik beroperasi lebih kurang 400 jam/bulan, maka dapat dihasilkan sekitar 200 MW tenaga listrik dari pabrik kelapa sawit (Ma et al. 1998).
Namun, ampas serabut yang dihasilkan tidak semuanya digunakan sebagai bahan bakar karena ada kelebihan antara kebutuhan sebagai bahan bakar dengan ampas serabut yang dihasilkan. Sisa ampas serabut yang tidak terpakai seringkali ditumpuk begitu saja di lingkungan sekitar pabrik dan kebun. Sisa ampas serabut yang tidak termanfaatkan ini jika dibiarkan akan menjadi breeding site bagi hama tanaman kelapa sawit yakni Kumbang Badak (Oryctes rhinoceros). Ampas serabut yang ditumpuk di pinggir jalan kebun dapat menyerap air sehingga tanah menjadi lembab dan pada akhirnya dapat berpotensi merusak jalan kebun.
Sisa ampas serabut tersebut sebenarnya masih bisa dimanfaatkan sebagai pupuk organik untuk memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah. Dari tabel 1 dapat dilihat bahwa ampas serabut memiliki potensi nutrisi yang cukup bagi tanaman kelapa sawit terutama untuk unsur K dan Mg. Untuk tanah berpasir yang memiliki porositas tinggi, penggunaan ampas serabut sebagai pupuk organik dapat mengurangi kecepatan infiltrasi air ke dalam tanah sehingga dapat menjaga kelembaban tanah di sekitar perakaran tanaman kelapa sawit terutama pada musim kemarau. Aplikasi ampas serabut juga dapat meningkatkan nilai KTK tanah sehingga meningkatkan efisiensi pemanfaatan pemberian pupuk kimia di dalam tanah. Erosi permukaan pun berkurang karena air ditahan oleh lapisan ampas serabut. Namun ketebalan aplikasi ampas serabut perlu diperhatikan, karena jika terlalu tebal akan berpotensi menjadi breeding site hama Oryctes rhinoceros.
Pemanfaatan lain dari ampas serabut yakni sebagai mulsa di pembibitan kelapa sawit terutama di Main Nursery (MN). Ampas serabut diaplikasikan secara tipis di permukaan atas untuk mengurangi evaporasi tanah sehingga kelembaban tanah terjaga dan mengurangi pertumbuhan gulma di permukaan tanah polibag.

Peranan Ampas Serabut (Fibre) dalam Pengelolaan Industri Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan
Perkebunan kelapa sawit berwawasan lingkungan sekarang menjadi tren baru. Perusahaan perkebunan pun mulai memasukkan program pertanian berkelanjutan ke dalam strategi sentral dalam manajemen bisnisnya dan bukan hanya sekedar basa-basi saja. Dokumen-dokumen Sistem Manajemen Lingkungan seperti ISO 14001 mulai diterapkan oleh sebagaian perusahaan perkebunan. Bahkan pihak bank pun telah memasukkan dokumen pengelolaan lingkungan hidup menjadi salah satu syarat dalam pemberian kredit.
Ada empat syarat bahwa suatu agroekosistem dapat dikategorikan sebagai sistem yang berkelanjutan :
  1. Agroekosistem tersebut harus mampu memproduksi tanaman dengan produksi yang tinggi dan nutrisi yang berkualitas yang dapat dipertahankan untuk memenuhi kebutuhan masa yang akan datang.
  2. Harus dipastikan bahwa efek-efek negatif terhadap kesuburan tanah, air dan udara, dan biodiversitas dari aktivitas pertanian diminimalisasi dan harus memberikan kontribusi positif.
  3. Menggunakan sumber daya terbarukan dan mengurangi penggunaan sumber daya tak terbarukan.
  4. Pertanian berkelanjutan harus melindungi komunitas lokal dan meningkatkan kesejahteraan mereka dan lingkungannya.
Agroekosistem merupakan kesatuan komunitas tumbuhan dan hewan serta lingkungan kimia dan fisiknya yang telah dimodifikasi oleh manusia untuk menghasilkan makanan, serat, bahan bakar, dan produk lainnya bagi konsumsi dan pengolahan umat manusia. Agroekologi merupakan studi agroekosistem yang holistik, termasuk semua elemen lingkungan dan manusia. Fokusnya adalah pada bentuk, dinamika dan fungsi hubungan timbal balik antar unsur-unsur tersebut serta proses dimana mereka terlibat. Suatu wilayah yang digunakan untuk produksi pertanian, misalnya suatu lahan, dipandang sebagai suatu sistem yang kompleks dimana proses ekologi yang terjadi dalam kondisi alami juga ditemukan, misalnya daur unsur hara, interaksi pemangsa-mangsa, persaingan, simbiosis, dan perubahan turun-temurun. Yang tampak secara implisit dalam pekerjaan agroekologi adalah gagasan, bahwa dengan memahami hubungan-hubungan dan proses-proses ekologi ini, agroekosistem bisa dimanipulasi untuk memperbaiki produksi dan berproduksi secara lebih berkelanjutan dengan dampak negatif yang lebih sedikit terhadap lingkungan dan masyarakat serta kebutuhan akan input luar yang lebih sedikit.
Keberlanjutan agroekosistem perkebunan kelapa sawit merupakan kemampuan sistem tersebut untuk mampu bertahan pada jangka waktu yang panjang dan mampu bertahan terhadap perubahan-perubahan yang ekstrem pada kondisi tertentu, misalnya kekeringan, ketidaksesuaian lahan, banjir, kelangkaan pupuk, kelangkaan tenaga kerja, krisis ekonomi dan moneter, konflik, dan lain-lain. Agroekosistem perkebunan harus mampu memberikan hasil sebagai efek feedback secara merata kepada seluruh anggota ekosistem yang terdapat di lingkungan agroekosistem perkebunan tersebut. Tanaman kelapa sawit membutuhkan input baik dalam bentuk input dari lingkungan internal maupun dari lingkungan eksternal. Bentuk input internal bagi tanaman kelapa sawit antara lain berupa sisa biomassa yang tidak diolah (seperti pelepah kelapa sawit, potongan tangkai buah kelapa sawit) dan produk ikutan hasil olahan pabrik kelapa sawit (seperti tandan kosong kelapa sawit, ampas serabut, cangkang, solid, dan limbah cair kelapa sawit) yang dapat dikembalikan dalam bentuk pupuk organik bagi tanaman. Perkebunan kelapa sawit merupakan agroekosistem yang unik yang merupakan kombinasi sumber daya fisik dan biologis seperti bentuk-bentuk lahan, tanah, air, tumbuhan (tumbuhan liar, pepohonan, tanaman budidaya) dan hewan (liar dan peliharaan). Dengan mempengaruhi komponen-komponen agroekosistem dan interaksinya, industri perkebunan kelapa sawit dapat meningkatkan (minimal dapat mempertahankan) produktivitas, stabilitas, keberlanjutan dan kemerataan dari sistem tersebut.
Sebagai salah satu produk ikutan olahan kelapa sawit, ampas serabut memiliki peranan dalam memenuhi syarat-syarat terbentuknya suatu agroekosistem perkebunan yang berkelanjutan. Pemanfaatan ampas serabut sebagai bahan bakar stasiun boiler menunjukkan bahwa industri perkebunan kelapa sawit menggunakan sumber daya terbarukan dan meminimalisasi penggunaan sumber daya tak terbarukan. Pemanfaatan ampas serabut sebagai pupuk organik dan mulsa organik baik di areal kebun maupun di pembibitan menunjukkan bahwa industri perkebunan kelapa sawit meminimalisasi penggunaan input eksternal yang dapat memberikan efek negatif bagi kesuburan tanah, air, dan udara, serta berharap bahwa nutrisi yang dikandung dalam ampas serabut mampu memberikan kontribusi positif terhadap produksi tanaman kelapa sawit.
Namun pemanfaatan ampas serabut di atas masih sangat terbatas. Melalui penelitian dan pengembangan pemanfaatan ampas serabut secara berkelanjutan maka diharapkan penggunaan input eksternal dapat dikurangi sehingga terdapat feedback dari interaksi antar komponen-komponen di dalam agroekosistem perkebunan kelapa sawit. Dalam pemanfaatan tersebut yang harus ditekankan adalah semua komponen di dalam agroekosistem harus mampu memberikan kontribusi positif yakni berupa feedback (umpan balik) terhadap parameter analisis agroekosistem yakni produktivitas, stabilitas, keberlanjutan dan kemerataan, serta mengurangi trade-off (bertolak belakang) terhadap paremeter-parameter tersebut bagi kompononen-komponen di dalam agroekosistem perkebunan kelapa sawit.

Pustaka
Caliman, J.P, A. Berthaud, B. Dubos, dan B. Tailliez, 2005. A. Agronomy, Sustainability and Good Agricultural Practices, dalam OCL, vol. 12, No.2, Maret-April 2005. hal. 134-140.
Corley, R.H.V. dan P.B. Tinker, 2003. The Oil Palm. Fourth edition. Blackwell Science. 562 hal.
Dumelin, E, V. Rao, B.G. Smith, dan R.H.V. Corley, 2002. Sustainable Palm Oil Agriculture - The Unilever Initiative.. International Oil Palm Conference. Nusa Dua, Bali, 8 – 12 Juli 2002. hal. 226 – 237.
Ma, A.N, T.S. Toh dan N.S Chua, 1998. Renewable Energy from Oil Palm Industry. Chapter 17.
Mangoensoekarjo S dan H. Semangun, 2003.Manajemen Agrobisnis Kelapa Sawit. Gadjah Mada University Press. 605 hal.
Naibaho, P. M. 1988. Teknologi Pengolahan Kelapa Sawit. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan. 306 hal.
Pandoyo, D. 1999. Analisis Agroekosistem Sistem Surjan di Kecamatan Pengasih, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta. Skripsi S-1. Tidak dipublikasikan.
Tailliez, B. dan M. Griffon, 2005. Research, Oil Palm, and Sustainable Development, dalam OCL, vol. 12, No.2, Maret-April 2005. hal. 107-110.

No comments: