Thursday, January 12, 2012

KOROSI


KOROSI

Dalam kehidupan sehari-hari, korosi dapat kita jumpai pada bangunan-bangunan mapun perlatan yang memakai komponen-komponen logam seperti seng, tembaga, besi-baja, dan sebagainya. Seng untuk atap dapat bocor karena termakan korosi. Jembatan dari baja maupun badan mobil juga dapat menjadi rapuh karena korosi. Selain pada perkakas logam ukuran besar, korosi ternyata juga dapat terjadi pada komponen-komponen renik peralatan electronik yang terbuat dari logam.
Korosi atau pengkaratan merupakan fenomena kimia pada bahan-bahan logam menjadi ion pada permukaan logam yang kontak langsung dengan lingkungan berair dan oksigen. Salah satu penyebab ambruknya suatu infrastruktur seperti jembatan, jalan laying atau dermaga adalah terkorosinya besi dalam beton infrastruktur tersebtu. Besi dalam beton sebenarnya tahan terhadap korosi kerena sifat alkali dari beton (pH 12-13) sehingga terbentuk lapian pasif di permukaan besi dalam beton. Besi baru terkorosi bila lapisan ini rusak. Proses karbonisasi (carbonation) dan intrusi ion-ion klorida dan gas CO2 ke dalam boton merupakan factor penyebab rusaknya lapisan tersebut yang berlanjut dengan terkorosinya besi di dalam beton.
Kerugaian yang dapat ditimbulkan  oleh korosi tidak hanya biaya langsung seperti pergantian peralatan industri, perawatan jembatan, konstruksi dan sebagainya, tetapi juga biaya tidak langsung seperti terganggunya proses produksi dalam industri serta kelancaran transportasi yang umumnya lebih besar dibandingkan biaya langsung.
Factor yang berpengaruh terhadap korosi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu yang berasal dari bahan itu sendiri dan dari lingungan. Factor dari bahan meliputi kemurnian bahan, struktur bahan, bentuk kristal, unsure-unsur kelumit yang ada dalam bahan terkni pencampuran bahan dan sebagainya. Factor dari lingkungan meliputi  tingkat pencemaran udar, suhu, kelembaban, keberadaan zat-zat kimia yang bersifat korosif dan sebagainya.
Bahan-bahan korosif (yang dapat menyebabkan korosi) terdiri atas asam, basa serta garam, baik dalam bentuk senyawa an-organik maupun organic. Flour, hydrogen fluorida beserta persenyawaan-persenyawaannya dikenal sebagai bahan korosif. Dalam industri, bahan ini umumnya dipakai untuk sintesa bahan-bahan organic. Ammoniak (NH3) merupakan bahan kimia yang cukup banyak digunakan dalam kegiatan industri. Pada suhu dan tekanan normal, bahan ini berada dalam bentuk gas dan sangat mudah terlepas ke udara. Ammoniak dalam kegiatan industri umumnya digunakan untuk sintesa bahan organic, sebagai bahan inti beku di dalam alat pendingin, juga segagai bahan untuk pembuatan pupuk. Aneka partikel aerosi, debu serta gas-gas asam seperti Nox dan Sox dapat berubah menjadi asam nitrat (HNO3) dan asam sulfat (H2SO4) di udara. Oleh sebab itu, udara menjadi terlalu asam dan besifat korosif dengan terlarutnya gas-gas asam tersebut di dalam udara. Dalam lingkungan dengan tingkat pencemaran tinggi, aneka barang mulai dari komponen elektronika  renik sampai jembatan baja semakin mudah rusak, bahkan hancur karea korosi.
Korosi pada piranti maupun komponen-komponen elektronika dapa mengakibatkan sifat elektrik pada komponen-komponen tersebut menjadi rusak karena tebentuknya lapisan non-konduktor. Dalam beberapa kasus, hubungan pendek yang terjadi pada peralatan elektronik dapat menyebabkan terjadinya kebakaran yang menimbulkan kerugian bukan hanya dalam bentuk kehilangan atau kerusakan materi, tetapi juga korban nyawa.

Korosi adalah kerusakan atau degradasi logam akibat reaksi redoks antara suatu logam dengan berbagai zat dilingkungan yang menghasilkan senyawa- senyawa yang tidak dikehendaki. Dalam bahasa sehari-hari, korosi tersebut perkaratan. Contoh korosi yang lazim adalah perkaratan besi.
Pada peristiwa korosi, logam mengalami oksidasi, sedangkan oksigen (udara) mengalami reduksi. Karat logam umumnya adalah berupa oksida atau karbonat. Rumus kimia karat besi adalah Fe2O3.NH2O, suatu zat padat yang berwarna coklat-merah.
Korosi merupakan proses elektrokimia. Pada korosi besi, bagian tertentu dar besi itu berlaku sebagai anode, dimana besi mengalami oksidasi.
Fe(s)  --><-- Fe2 +(aq)+2e
Elektron yang dibebaskan di anode mengalir ke bagian lain dari besi itu yang bertindak segai katode di mana oksidasi tereduksi.
O2(g) + 4H+(aq)+ 4e --><-- 2H2O(l)
Atau
O2(g) + 2H2O(l) + 4e --><-- 4OH-(aq)

Ion besi (II) yang terbentuk pada anoda selanjutnya teroksidasi membentuk ion besi (III) yang kemudian membentuk senyawa oksida terhidrasi, yaitu karat besi. Mengenai bagaimana dari besi itu yang bertindak sebagai anode dan bagian mana yang bertindak sebagai katode, bergantung pada berbagai factor, misalnya zat pengotor, atau berbeda rapatan logam itu.
Korosi dapat juga di artikan sebagai serangan yang merusak logam karena logam bereaksi secara kimia atau elektrokimia dengan lingkungan. Ada defenisi lain yang mengatakan bahwa korosi adalah kebalikan dari proses mineralnya. Contohnya, bijih besi di alam bebas ada dalam bentuk besi oksida atau besi sulfida, setelah diekstraksi dan diolah, akan dihasilkan besi ayng digunakan untuk pembuatan baja atau baja paduan. Selama pemakaian baja tersebut akan bereaksi dengan lingkungan yang menyebabkan korosi (kembali menjadi senyawa oksida). Deret volta dan hokum nernst akan membantu untuk dapat mengetahui kemungkinan terjadinya korosi. Kecepatan korosi sangan tergantung  pada banyak factor, sepeti ada atau tidaknya lapisan oksida, karena lapisan oksida dapat menghilangkan beda potensial terhadap elektroda lainnya yang akan sangat berbeda bila masih bersih dari oksida.

Untuk memahami kenapa logam bisa korosi, pertama harus diketahui bagaimana sebuah logam dapat terbentuk. Dengan metode yang sederhana, zat metallic dapat terbentuk  dengan 2 bahan pokok, yaitu biji logam alam dan penambahan energi dalam bentuk panas atau tekanan. Penambahan energi ini memaksa biji logam alam berubah menjadi zat metallic. Dengan kata lain, logam adalah bijih alam dan penambahan energi.

BIJIH LOGAM ALAM + ENERGI ---> ZAT METALLIC (proses peleburan logam)
Proses ini merupakan reaksi bolak balik, artinya

ZAT METALLIC ---> BIJIH LOGAM ALAM + ENERGI (proses korosi)

Sesaat setelah sebuah zat metal tercipta, maka dimulailah proses pelepasan energi pembentuknya. Proses ini biasa kita sebut sebagai KOROSI.
Berapa banyak waktu yang diperlukan untuk mengubah dari bentuk metallic kembali ke kondisi bijih logam sangat ditentukan oleh 2 hal utama :
1.   Besaran Energi yang tersimpan di dalam logam.
Agar berubah menjadi zat metalik, setiap bijih logam membutuhkan energi yang spesifik. Semakin besar  energi yang dibutuhkan dalam proses tesebut, semakin cepat logam yang tersebut akan korosi.
2.   Faktor lingkungan
a.   Keasaman
b.   Kelembaban
Kedua keadaan ini akan mempercepat proses alamiah reaksi elektrokimia dari korosi dengan mendorong logam untuk melepaskan energi lebih cepat dari keadaan normal. Factor “Uap Air” mendapat perhatian utama karena keberadaanya yang sangat melimpah di alam.

 KOROSI PADA STAINLESS STEEL

A.  Korosi Secara Umum
Stainless steel secara mendasar bukanlah logam mulia seperti emas (Au) dan Platina(Pt) yang hampir tidak mengalami korosi karena pengaruh kondisi lingkungan, sementara stainless steel masih mengalami korosi. Daya tahan korosi SS disebabkan lapisan yang tidak terlihat (invisible layer) yang terjadi akibat oksidasi SS dengan oksigen yang akhirnya membentuk lapisan pelindung anti korosi (protective layer). Sumber oksigen bisa berasal dari udara maupun air. Material lain yang memiliki sifat sejenis antara lain Titanium (Ti) dan juga Aluminium (Al). secaram umum protective layer terbentuk dari reaksi kromium + oksigen secara spontan membentuk krom-oksida. Jika laposan oksida SS digores/terkelupas, maka protective layer akan segera terbentuk secara spontan, tentunya jika kondisi lingkungan cukup mengandung oksigen (gambar 1). Walaupun demikian kondisi lingkungan tetap menjadi  penyebab kerusakan protective layer tersebut. Pada keadaan dimana protective layer tidak dapat lagi terbentuk, maka korosi akan terjadi. Banyak media yang dapat menjadi penyebab korosi, seperti halnya udara, cairan/larutan yang besifat asam/basa, gas-gas proses (misal gas asaphasil buangan ruang bakar atau reaksi kimia lainnya), logam yang berlainan jenis dan saling berhubungan dan sebagainya.
B.   Jenis-Jenis Korosi pada Stainless Steel.
Mesikpun alas an utama penggunaan stainless steel adalah ketahanan korosinya, tetapi pemilihan stainless steel yang tepat mesti disesuaikan dengan aplikasi yang tepat pula. Pada umumnya, korosi menyebabkan beberapa masalah seperti :
1.   Terbentuknya lubang-lubang kecil/halus pada tangki dan pipa-pipa sehinga menyebabkan kebocoran cairan ataupun gas.
2.   Menurunnya kekutan material di sebabkan penyusutan/ pengurangan ketebalan/ volume material sehingga ‘strength’ juga menurun, akibatnya dapat terjadi retak, bengkok, patah dan sebagainya.
3.   Dekorasi permukaan material menjadi tidak menarik disebabkan kerat karet ataupun lubang-lubang.
4.   Terbentuknya karat-karat yang mungkin mengkontaminasi zat atau material lainnya, hal ini sangat dihindari khususnya pada proses produksi makanan. Secara umum korosi pada stainless steel dapat dikategorikan sbb:
-  Uniform Corrosion
-  Pitting Corrosion
-  Crevice Corrosion
-  Stress Corrosion Cracking
-  Intergranular Corrosion
-  Galvanic Corrosion

Uniform Corrosion
Uniform Corrosion terjadi disebabkan rusaknya seluruh atau sebagian protective layer pada SS sehigga SS secara merata akan berkurang/aus. (Gambar 2) Korosi ini terjadi umumnya disebabkan oleh cairan atau larutan asam kaut maupun alkali panas. Asam hidroklorit dan asam hidrofluor adalah lingkungan yang perlu dihindari SS apalagi dikombinasikan dengan temperatur serta konsentrasi yang cukup tinggi.


Pitting Corossion
Korosi berupa lubang-lubang kecil sebesar jarum, dimana dimulai dari korosi local (bukan seperti uniform corrosion). Pitting Corrosion ini awalnya terlihat kecil dipermukaan SS tetapi semakin membesar pada bagian dalam SS (gamar3). Korosi ini terjadi pada beberapa kondisi pada lingkungan dengan pH rendah, termperature moderat, serta konsentrasi  klorida yang cukup tinggi (misal NaCl atau garam air laut). Pada konsentrasi klorida yang cukup tinggi, awalnya ion-ion klorida merusak protective layer pada permukaan SS terutama permukaan yang cacat. Timbulnya cacat ini dapat disebabkan oleh kotoran sulfida, retak-retak kecil akibat penggerindaan, pengelasan, penumpukan kerak, penumpukan larutan padat, dsb. Proses kimia yang terjadi saat pitting korosi ini dapat dilihat dalam gambar 4. umumnya SS berkadar krom (Cr), Molybdenum(Mo) dan Nitrogen (N) yang tinggi cenderung lebih tahan terhadap pitting corrosion. Pada industi petrokimia korosi ini sangat berbahaya karena menyerang permukaan dan penampakan visualnya sangat kecil, sehingga sulit untuk di atasi dan dicegah terutama pada pipa-pipa bertekanan tinggi. Ketahanan material terhadap pitting korosi jenis ini diformulasikan sbb:
PREN = %Cr + (3,3 x %Mo) + (16 x %N)
Satu hal yang menyebabkan pitting corrosion sangat serius bahwa ketika lubang kecil terbentuk, maka lubang ini akan terus cenderung berkembang (lebih besar dan dalam) meskipun kondisi SS tersebut sangat tertutup atau tidak dapat tersentuh sama sekali. Oleh karena itu dalam mendesain material untuk lingkungan kerja yang besar kemungkinan terjadi pitting korosi digunakan nilai PREN, sebagai acuan. Contohnya bila dibandingkan anatara SS austenitic seperti 304, 316L, dan SS super-austenitik seperti UR 6B. SS 304 memiliki kombinasi (dalam %):<0,015C, 18,5Cr, 12Ni sedangkan untuk SS 316L memiliki kombinasi :<0,030C, 17,5 Cr, 13,5 Ni, 2,6 Mo. SS super-austenik UR 6B memiliki kombinasi : <0,020 C, 20 Cr, 25 Ni, 43Mo, dan 0.13 N dengan komposisi yang berbeda maka nilai PREN untuk masing-masing SS adalah : 304 = 18, 316L = 26, dan UR 6B memiliki ketahanan akan pitting korosi paling kaut sedagkan 304 memiliki ketahanan yang paling lemah. Contoh besaran angka PREN tesebut dapat dilihat pada table SS Tira. Gambar 3. ilustrasi pitting corrosion pada material SS.1. Gambar 4. Skema proses kimia yang terjadi saat pitting corrosion menyerang dan terus merusak logam SS.1

Cravice Corrosion
Korosi jenis ini sering terjadi di daerah yang kondisi oksida terhadap krom (Cr) SS sangat rendah atau bahkan tidak ada sama sekali (miskin oksigen). Sering pula terjadi akibat desain konstruksi peralatan yang tidak memungkinkan terjadinya oksidasi tersebut misal celah antara gasket/ packing, celah yang terbentuk akibat pengelasan ayng tidak sempurna, sudut-sudut yang sempit, celah/sudut antara 2 atau lebih lapisan metal, celah antara mur/baut dsb. Praktis korosi ini terjadi di daerah yang sangat sempit (celah, sudut, taktik dsb) (gambar 5). Crevice corrosion dapat dipandang sebagai pitting corrosion yang lebih berat/ hebat dan terjadi pada temeperature dibawah termperature moderate yang biasa menyebabkan pitting corrosion. Cara untuk menghidari masalah ini, salah satunya dengan membuat desain peralatan lebih “terbuka’ walaupun kenyataanya sangat sulit untuk semua aplikasi. Gambar 5. ilustarasi crevice corrosion yang menyerang saat 2 matreial bertemu dan membentuk  celah sempit, sehingga terjadi perbedaan kandungan oksigen yang menyebabkan korosi.

Stress Corrosion Cracking
Dalam kondisi kimbinasi antara tegangan (baik tensile, torsion, compressive maupun thermal) dan lingkungan yang korosif maka SS cenderung lebih cepat mengalami korosi. Karat yang mengakibatkan berkurangnya penampang luas efektif permukaan SS menyebabkan tegangan kerja (working stress) pada SS akan bertambah besar korosi ini dapat terjadi pula misal pada pin, baut-mur dengan lubangnya/ dudukannya, SS yang memiliki tegangan sisa akibat rolling, bending, welding dsb. Ilustrasi dari korosi ini dapat dilihat di gambar 6. korosi ini meningkat jika part yang mengalami stress berada dilingkungan dengan kadar klorida tinggi seperti air laut yang termperaturnya cukup tinggi. Sebagai akibatnya aplikasi SS dibatasi untuk menangani cairan panas bertemperatur di atas 50oC bahkan dengan kadar klorida yang sangat sedikit sekalipun (beberapa ppm). SS yang cocok korosi ini adalah austenitic SS  disebabkan kadar Nikel-nya (Ni) relative tinggi. Grade 316 tidak lebih tahan secara siknifikan disbanding 304 atau 316 bahkan sampai temperatur aplikasi 150oC dan super duplex akan lebih tahan lagi terhadap stress corrosion cracking. Pada beberapa kasus, korosi ini dapat dikurangi dengan cara ‘shot peening’, penembakan permukaan logam dengan butir pasir logam, atau juga meng-annealling setelah SS selesai di-machining, sehingga dapat mengurangi tegangan pada permukaan logam.

Intergranular Corrosion
Korosi ini dapat disebabkan ketidak sempurnaan mikrostruktur SS. Ketika austenic SS berada pada temperature 425-850 oC (temperatur sensitasi) atau ketika dipanaskan da dibiarkan mendingin secara perlahan (seperti halnya sesudah welding atau pendinginan setelah annealing) maka karbon akan menarik krom untuk membentuk partikel kromium karbida (chromium carbide) didaerah batas butir akan menghilangkan/ mengurangi sifat perlindungan kromium pada daerah tengah butir. Sehingga daerah ini akan dengan mudah terserang oleh korosi (gambar 7). Secara umum SS dengan kadar karbon <2% relative tahan terhadap korosi ini. Ketidak sempurnaan mikrosturktur ini diperbaiki dengan menambahkan unsure yang memiliki afinitas (“daya tarik”) terhadap kebon lebih besar untuk membentuk kabida, seperti Titanium (misal pada SS 321) dan Niobium (misal pada SS 347). Cara lain adalah dengan menggunakan SS berkadar kerbon rendah yang di tandai indeks ‘L’-low carbon steel. (misal 316L atau 304L). SS dengan kadar kerbon tinggi juga akan tahan tehadap korosi jenis ini asalkan digunakan pada temperatur tinggi pula (misal 30H, 316H, 321H, 347H, 30715/ Sirius s15, 310/ Sirius 310 dan juga 314/ Sirius 314). Gambar 7. ilustrasi korosi pada butir akibat terjadingya sensitasi krom (Cr)

Galvanis Corrosion
Galvanis Corrosion terjadi disebabkan sambungan dissimilar amterial (2 mateial yang berbeda terhubung secara elektris/ tersambung misal baut dengan mur, paku keeling/ rivet dengan body tangki, hasil welding denga benda kerja) dan atau terendam dalam larutan elektrolit sehingga dissimilar material tesebut menjadi semacam sambungan listrik. Mekanisme ini disebabkan satu material befungsi sebagai anoda dan yang lainnya sebagai katoda sehingga terbentuk jembatan elektrokimia (gamar 8). Dengan terjadinya hubungan elektrik teresebut maka logam yang bersifat anoda (less noble) akan lebih mudah terkorosi. Urutan tersebut di tunjukkan pada seri elektrokimia logam berikut : ogam derer sebelah kiri cenderung menjadi anoda (mudah berkarat) sementara logam sebelah kanan cenderung menjadi katoda. Galvanis Corrosion ini tergantu pada :“Perbedaan ke-mulia-an dissimilar material “ rasio luas permukaan dissimilar material, dan konduktifitas larutan. Gamar 8. ilustrasi terjadinya korosi antara dua logam yang berbeda jenis keaktifannya (logam A dan B)
-            
 



CARA MENCEGAH DAN MENGATASI BESI BERKARAT KARENA KOROSI

1.   Melapisi besi atau logam lainnya dengan cat khusus besi yang banyak dijual di took-toko bahan           
      bangunan.
2.   Membuat logam  dengan campuran yang serba sama atau homogen ketika pembutan atau produksi besi 
      atau logam lainnya di pabrik.
3.   Pada permukaan logam diberi oli atau vaselin.
4.   Menghubungkan dengan logam aktif seperti magnesium (Mg) melalui kawat agar yang berkarat pada 
      tiang listrik besi atau baja. Mg ditanam tidak jauh dari tiang listrik.
5.   Melakukan proses galvanisasi dengan cara melapisi logam besi dengan seng tipis atau timah yang terletak
     di sebelah kiri deret volta.
6.  Melakukan proses elektro kimia dengan jalan memberi lapisan timah seperti yang biasa dilakukan pada
     kaleng.






















No comments: